BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang Masalah
Kehidupan
manusia sangatlah komplek, begitu pula hubungan yang terjadi pada manusia
sangatlah luas. Hubungan tersebut dapat terjadi antara manusia dengan manusia,
manusia dengan alam, manusia dengan makhluk hidup yang ada di alam, dan manusia
dengan Sang Pencipta. Setiap hubungan tersebut harus berjalan seimbang. Selain
itu manusia juga diciptakan dengan sesempurna penciptaan, dengan sebaik-baik
bentuk yang dimiliki.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah
ini, yaitu sebagai berikut:
·
Menambah pengetahuan tentang
hubungan antra manusaia dan budaya serta penjelasan tentang manusia yang
berbudaya
1.3.
Metodologi
Metodologi
yang saya gunakan adalah dengan cara mencari dan membaca informasi yang
berkaitan dengan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Teori
A. Pengertian Manusia
Secara
bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens”
(Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi
(mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah
konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus)
atau seorang individu.
Dalam
hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living
organism). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan
bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu
lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal
(geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seoang bayi lahir, ia
merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh kaena itu ia menangis,
menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana
timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense)
untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk hidup.
Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu
bersumber dari lingkungan.
Oleh karena
itu lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap manusia itu sendiri, hal ini
dapat dilihat pada gambar siklus hubungan manusia dengan lingkungan sebagai
berikut:
Siklus
Hubungan Manusia
Gambar di
atas menggambarkan bahwa lingkungan dan manusia atau manusia dan lingkungan
merupakan hal yang tak terpisahkan sebagai ekosistem, yang dapat dibedakan
mejadi:
- Lingkungan
alam yang befungsi sebagai sumber daya alam
- Lingkungan manusia yang berfungsi sebagai sumber daya manusia
- Lingkungan buatan yang berfungsi sebagai sumber daya buatan
B. Pengertian Budaya
Kata budaya
merupakan bentuk majemuk kata budi-daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa.
Sebenarnya kata budaya hanya dipakai sebagai singkatan kata kebudayaan, yang
berasal dari Bahasa Sangsekerta budhayah yaitu bentuk jamak dari budhi
yang berarti budi atau akal. Budaya atau kebudayaan dalam Bahasa Belanda di
istilahkan dengan kata culturur. Dalam bahasa Inggris culture.
Sedangkan dalam bahasa Latin dari kata colera. Colera berarti mengolah,
mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian
pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan
aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Definisi
budaya dalam pandangan ahli antropologi sangat berbeda dengan pandangan ahli
berbagai ilmu sosial lain. Ahli-ahli antropologi merumuskan definisi budaya
sebagai berikut:
E.B. Taylor:
1871 berpendapat bahwa budaya adalah: Suatu keseluruhan kompleks yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat,
serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota
masyarakat.
Sedangkan
Linton: 1940, mengartikan budaya dengan: Keseluruhan dari pengetahuan, sikap
dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh
anggota suatu masyarakat tertentu.
Adapun
Kluckhohn dan Kelly: 1945 berpendapat bahwa budaya adalah: Semua rancangan
hidup yang tercipta secara historis, baik yang eksplisit maupun implisit,
rasional, irasional, yang ada pada suatu waktu, sebagai pedoman yang potensial
untuk perilaku manusia
Lain halnya
dengan Koentjaraningrat: 1979 yang mengatikan budaya dengan: Keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Berdasarkan
definisi para ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa unsur belajar merupakan hal
terpenting dalam tindakan manusia yang berkebudayaan. Hanya sedikit tindakan
manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan
belajar.
Dari
kerangka tersebut diatas tampak jelas benang merah yang menghubungkan antara
pendidikan dan kebudayaan. Dimana budaya lahir melalui proses belajar yang
merupakan kegiatan inti dalam dunia pendidikan.
Selain itu
terdapat tiga wujud kebudayaan yaitu :
1. wujud
pikiran, gagasan, ide-ide, norma-norma, peraturan,dan sebagainya. Wujud pertama
dari kebudayaan ini bersifat abstrak, berada dalam pikiran masing-masing
anggota masyarakat di tempat kebudayaan itu hidup;
2. aktifitas
kelakuan berpola manusia dalam masyarakat. Sistem sosial terdiri atas
aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan serta bergaul
satu dengan yang lain setiap saat dan selalu mengikuti pola-pola tertentu
berdasarkan adat kelakuan. Sistem sosial ini bersifat nyata atau konkret;
3. Wujud
fisik, merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas perbuatan dan karya
manusia dalam masyarakat.
2.2. Study Kasus
Manusia dan Budaya Unggul
Buku Stephen R Covey berjudul The 8th Habit: From
Effectiveness to Greatness setidaknya menjadi pemicu diskusi tentang budaya
unggul akhir-akhir ini. Para cerdik cendekia pun ribut mencari apa yang
sebenarnya unggul dalam diri kita dan apa memang ada keunggulan itu. Tidak
main-main, bahkan Bapak Presiden merasa perlu menyampaikan kepada rakyatnya
untuk melahirkan budaya unggul dalam bangsa ini.
Dalam maksud yang sederhana, budaya unggul akan bisa
memulihkan harga diri dan martabat bangsa ini menjadi bangsa yang tidak mudah
dilecehkan dan diharapkan mampu mengatasi krisis berkepanjangan dan seterusnya.
Jika budaya unggul bisa didiskusikan bersama seiring dengan manusia unggul,
setidaknya apa yang dinyatakan oleh Covey sebagai manusia dengan predikat
greatness membawa ingatan kita pada apa yang oleh filosof Jerman, Friedrich
Wilhelm Nietzsche (1844-1900), dinyatakan sebagai uebermensch yang dalam bahasa
Inggris sering diterjemahkan sebagai superman. Kebudayaan merupakan identitas
dari manusia.
Untuk melahirkan budaya unggul, terlebih dahulu manusia
harus bisa menjawab tantangan yang ada dalam dirinya sendiri. Manusia unggul
tidak lahir dari situasi statis, melainkan dari proses dinamis. Tidak saja
dalam pengertian bagaimana upaya menemukan talenta terbaik dalam diri
seseorang, melainkan upaya untuk terus-menerus menjadi manusia yang lebih
(over).
Dalam pengertian ini, Ignas Kleden (2004) menyatakan bahwa
manusia hanya akan berhasil menjadi manusia melalui proses ueberwindung atau
overcoming (dalam bahasa Inggris). Anjuran untuk berproses menjadi manusia unggul
sudah dinyatakan dengan amat jelas dalam Also Sprach Zarathustra. Jelas sekali
ketika Nietzsche menulis bahwa pertanyaan pertama dan satu-satunya yang
dianjurkan oleh Zarathustra adalah Wie Wird der Mensch ueberwubden (bagaimana
caranya manusia mengatasi manusia).
Pengertiannya, untuk lahir sebagai superman, manusia harus
terus-menerus mengatasi dirinya sebagai manusia. Untuk menjadi manusia unggul,
manusia harus bisa meningkatkan dirinya dari sekadar manusiawi (humanus)
menjadi lebih manusiawi (humanior). Manusia unggul keluar dari proses dinamis
dan penuh tantangan, manusia yang bisa menggunakan kehendak dan kuasanya untuk
mengatasi rasa lemahnya. Nietzsche adalah filsuf yang begitu yakin bahwa
manusia harus berdiri di atas sifat-sifat konkretnya.
Manusia bukanlah suatu konsep abstrak sebagaimana dipahami
oleh kaum idealis atau juga kaum materialis. Keduanya sering melahirkan
pandangan-pandangan dunia yang bersifat statis. Padahal, hidup dan kehidupan
itu sendiri merupakan sesuatu yang dinamis dan bergerak terus-menerus. Bukankah
Nietzsche sendiri menyatakan, man is something that is to be surpassed (Manusia
adalah sesuatu yang harus dilampaui). Atau dengan yakin ia menyatakan, what is
great in man is that he is a bridge and not a goal; what is lovable in man is
that he is an over- going and down-going ( Apa yang agung dalam diri manusia
adalah bahwa dia adalah jembatan dan bukan tujuan; apa yang patut dicinta dalam
diri manusia adalah bahwa dia adalah perjalanan naik dan turun ).
Melahirkan manusia unggul jangan disalahpahami hanya dengan
pengertian meloloskan siswa-siswa berprestasi yang mampu merengkuh juara
olimpiade fisika, matematika, atau kimia. Menjadi manusia unggul biasa dialami
oleh siapa saja yang mampu mengatasi kediriannya menuju kedirian yang lebih.
Sifat serakah dan senang korupsi adalah manusiawi dan bahkan menjadi bagian tak
terpisah dari manusia. Untuk lahir menjadi manusia unggul, seseorang harus
bergerak untuk memperbarui kemanusiawiannya menjadi lebih manusiawi dengan
menjelma menjadi manusia yang tidak serakah dan senang korupsi.
Seorang pejabat akan bernilai lebih jika setiap saat dia
berhasil mengawasi dan menekan nafsu korupsinya. Dalam mengarungi bahtera
kehidupan yang nyata itulah manusia diberi kuasa untuk memikul tanggung jawab
atas dirinya sendiri. Dia harus menciptakan nilai-nilai untuk dirinya sendiri
pada saat perjalanan kehidupan tersebut.
Di sini dapat dipahami mengapa Nietzsche amat membenci pada
mereka yang mudah menyerahkan diri pada skema nilai-nilai yang diciptakan di
luar dirinya sendiri. Nietzsche menyebut mereka sebagai “manusia bermoral
gerombolan” atau “bermoral budak”. Mereka adalah para pengecut yang hanya bisa
berlindung di balik nilai-nilai yang menjerat kedigdayaannya.
“The ignorant, to be sure, the people-they are like a river
on which a boat floateth along; and in the boat sit the estimates of value,
solemn and disguised”. Mereka seperti sebuah sungai yang di atasnya mengambang
sebuah perahu; dan di dalam perahu itu duduk nilai yang dihargai, penuh kemeriahan
dan samaran.
Manusia unggul, jika mau merujuk pada Nietzsche, bisa lahir
dan dilahirkan dari manusia yang tak lagi menggantungkan diri segala tekanan
dari luar. Dengan tidak memperpanjang segala kontroversi pendapat Nietzsche,
budaya unggul dalam perspektif ini bisa dijadikan rujukan untuk mengembalikan
jati diri dan martabat kebangsaan yang hancur di tengah keserakahan modal,
penguasa, utang luar negeri, bahkan terorisme.
Komodifikasi kebudayaan
Ada kesan bahwa kebudayaan semakin mejadi komoditas.
Kebudayaan seakan-akan diapropriasi oleh elite politik, elite intelektual,
elite birokrat, elite system pendidikan atau elite budaya sendiri. Apropriasi
itu berlangsung atas dua jalur. Pertama, terungkap dalam
pembicaraan tentang kebudayaan masyarakat yang dikatakan tidak cocok untuk
pembangunan. Menurut jalur ini budaya masyarakat perlu direkayasa supaya sesuai
dengan pembangunan. Yang merekayasa adalah elite yang berbeda dari masyarakat
yang menganggap dirinya sudah mempunyai budaya yang sesuai dengan pembangunan.
Jalur itu juga melegitimasi penundaan proses demokratisasi : selama masyarakat
masih memiliki mentalitas yang tidak cocok dengan pembangunan, ia belum dapat
ikut dalam proses penentuan arah perjalanan bangsa Indonesia.
Kedua, berkebalikan
dengan yang pertama, yaitu jalur keprihatinan terhadap budaya bangsa. Dia
mendapat ekspresi dalam dua sub lagu yang bersama menghasilkan paduan suara
atau duet harmoniselite yang prihatin. Sub lagu yang pertama disebut lagu museum ; unsure-unsur positif warisan budaya bangsa perlu
dilestarikan. Disini termasuk pakaian nasional, tari-tarian, sopan santun
ketimuran, kekeluargaan, gotong royong dan lain-lain. Dengan menetapkan apa
yang termasuk budaya bangsa, elite menetapkan kelakuan masyarakat yang mana
sesuai dan yang mana tidak sesuai.
Sub-lagu yang
kedua mau melindungi budaya nasional terhadap
pengeruh buruk dari luar. Elite yang menganggap diri berwenang untuk menetapkan
sikap-sikap mana yang tidak sesuai dengan budaya bangsa. Disini kita
mendengarkan bahwa bangsa Indonesia tidak mengenal oposisi, bahwa masyarakat
kita bermusyawarah daripada memperjuangkan hak-haknya, tidak bersikap
konfrontatif, bahwa bertindak berdasarkan keyakinan sendiri adalah individualisme,
dan oleh karena itu asing.
Hal-hal diatas secara tegas menyatakan bahwa demi budaya
bangsa elitelah yang sebaiknya menentukan arah pembangunan.
Masyarakat kita yang berbudaya akan beruntung apabila
mengenal dan akrab dengan beberapa kebudayaan barat. Sama dengan orang barat
yang mengenal dan mencintai kebudayaan-kebudayaan Timur. Pertemuan dengan
kebudayaan lain selalu memperkaya kita sendiri. Mengagumi karya karya seni
Italia, atau menelusuri filsafat Perancis bagi orang timur pasti sangat
rewarding. Yang pasti menarik, pelancongan ke dalam kebudayaan lain tidak
cenderung memiskinkan persepsi tentang kebudayaan sendiri, melainkan
memperkaya.
Kebudayaan yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah
kebudayaan modern tiruan. Dia mengancam karena tidak sejati, tidak substansial,
semu, dan ersatz. Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia plastic, manusia
tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia kosong, manusia latah.
Kebudayaan tiruan itu mempunyai daya tarik luarbiasa
sehingga mampu menyedot pandangan kita tentang nilai, dasar harga diri, dan
status. Ia menawarkan kemewahan, kepenuhan hidup, kemantapan diri, asal kita
mau berpikir sendiri, dan berhenti membuat penilaian sendiri. Kebudayaan yang
dikatakan modern itu membuat kita lepas dari kebudayaan tradisional kita
sendiri, dan sekaligus tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern yang
sesungguhnya. Akhirnya kita hanya seolah-olah menjadi manusia modern.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang telah dibuat, maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa banyak terdapat mitos-mitos yang berkembang di
masyarakat dulu dan itu berlangsung sampai sekarang, bisa di bilang mitos-mitos
tersebut adalah budaya dari suatu masyrakat. Sebagai warga Indonesia yang
berbudaya kita harus menghormati budaya tersebut.
3.1. Saran
Bagi setiap masyarakat, mitos-mitos tersebut bisa
diambil sisi positif serta pesan/nilai-nilai kehidupan yang positif bagi
kehidupan kita sehari-hari, buang sisi negatif dari budaya tersebut.
Daftar Pustaka