Senin, 30 April 2012

Manusia Yang Berbudaya


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kehidupan manusia sangatlah komplek, begitu pula hubungan yang terjadi pada manusia sangatlah luas. Hubungan tersebut dapat terjadi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan makhluk hidup yang ada di alam, dan manusia dengan Sang Pencipta. Setiap hubungan tersebut harus berjalan seimbang. Selain itu manusia juga diciptakan dengan sesempurna penciptaan, dengan sebaik-baik bentuk yang dimiliki.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu sebagai berikut:
·         Menambah pengetahuan tentang hubungan antra manusaia dan budaya serta penjelasan tentang manusia yang berbudaya
1.3. Metodologi
Metodologi yang saya gunakan adalah dengan cara mencari dan membaca informasi yang berkaitan dengan makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Teori
A. Pengertian Manusia
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu.
Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living organism). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seoang bayi lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh kaena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari lingkungan.
Oleh karena itu lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap manusia itu sendiri, hal ini dapat dilihat pada gambar siklus hubungan manusia dengan lingkungan sebagai berikut:

   
                               


Siklus Hubungan Manusia
Gambar di atas menggambarkan bahwa lingkungan dan manusia atau manusia dan lingkungan merupakan hal yang tak terpisahkan sebagai ekosistem, yang dapat dibedakan mejadi:
- Lingkungan alam yang befungsi sebagai sumber daya alam
- Lingkungan manusia yang berfungsi sebagai sumber daya manusia
- Lingkungan buatan yang berfungsi sebagai sumber daya buatan

B. Pengertian Budaya
Kata budaya merupakan bentuk majemuk kata budi-daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa. Sebenarnya kata budaya hanya dipakai sebagai singkatan kata kebudayaan, yang berasal dari Bahasa Sangsekerta budhayah yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Budaya atau kebudayaan dalam Bahasa Belanda di istilahkan dengan kata culturur. Dalam bahasa Inggris culture. Sedangkan dalam bahasa Latin dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Definisi budaya dalam pandangan ahli antropologi sangat berbeda dengan pandangan ahli berbagai ilmu sosial lain. Ahli-ahli antropologi merumuskan definisi budaya sebagai berikut:
E.B. Taylor: 1871 berpendapat bahwa budaya adalah: Suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan Linton: 1940, mengartikan budaya dengan: Keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.
Adapun Kluckhohn dan Kelly: 1945 berpendapat bahwa budaya adalah: Semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik yang eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, yang ada pada suatu waktu, sebagai pedoman yang potensial untuk perilaku manusia
Lain halnya dengan Koentjaraningrat: 1979 yang mengatikan budaya dengan: Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Berdasarkan definisi para ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa unsur belajar merupakan hal terpenting dalam tindakan manusia yang berkebudayaan. Hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan belajar.
Dari kerangka tersebut diatas tampak jelas benang merah yang menghubungkan antara pendidikan dan kebudayaan. Dimana budaya lahir melalui proses belajar yang merupakan kegiatan inti dalam dunia pendidikan.
Selain itu terdapat tiga wujud kebudayaan yaitu :
1. wujud pikiran, gagasan, ide-ide, norma-norma, peraturan,dan sebagainya. Wujud pertama dari kebudayaan ini bersifat abstrak, berada dalam pikiran masing-masing anggota masyarakat di tempat kebudayaan itu hidup;
2. aktifitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat. Sistem sosial terdiri atas aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain setiap saat dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat kelakuan. Sistem sosial ini bersifat nyata atau konkret;
3. Wujud fisik, merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat.
2.2. Study Kasus
Manusia dan Budaya Unggul
Buku Stephen R Covey berjudul The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness setidaknya menjadi pemicu diskusi tentang budaya unggul akhir-akhir ini. Para cerdik cendekia pun ribut mencari apa yang sebenarnya unggul dalam diri kita dan apa memang ada keunggulan itu. Tidak main-main, bahkan Bapak Presiden merasa perlu menyampaikan kepada rakyatnya untuk melahirkan budaya unggul dalam bangsa ini.
Dalam maksud yang sederhana, budaya unggul akan bisa memulihkan harga diri dan martabat bangsa ini menjadi bangsa yang tidak mudah dilecehkan dan diharapkan mampu mengatasi krisis berkepanjangan dan seterusnya. Jika budaya unggul bisa didiskusikan bersama seiring dengan manusia unggul, setidaknya apa yang dinyatakan oleh Covey sebagai manusia dengan predikat greatness membawa ingatan kita pada apa yang oleh filosof Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), dinyatakan sebagai uebermensch yang dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai superman. Kebudayaan merupakan identitas dari manusia.
Untuk melahirkan budaya unggul, terlebih dahulu manusia harus bisa menjawab tantangan yang ada dalam dirinya sendiri. Manusia unggul tidak lahir dari situasi statis, melainkan dari proses dinamis. Tidak saja dalam pengertian bagaimana upaya menemukan talenta terbaik dalam diri seseorang, melainkan upaya untuk terus-menerus menjadi manusia yang lebih (over).
Dalam pengertian ini, Ignas Kleden (2004) menyatakan bahwa manusia hanya akan berhasil menjadi manusia melalui proses ueberwindung atau overcoming (dalam bahasa Inggris). Anjuran untuk berproses menjadi manusia unggul sudah dinyatakan dengan amat jelas dalam Also Sprach Zarathustra. Jelas sekali ketika Nietzsche menulis bahwa pertanyaan pertama dan satu-satunya yang dianjurkan oleh Zarathustra adalah Wie Wird der Mensch ueberwubden (bagaimana caranya manusia mengatasi manusia).
Pengertiannya, untuk lahir sebagai superman, manusia harus terus-menerus mengatasi dirinya sebagai manusia. Untuk menjadi manusia unggul, manusia harus bisa meningkatkan dirinya dari sekadar manusiawi (humanus) menjadi lebih manusiawi (humanior). Manusia unggul keluar dari proses dinamis dan penuh tantangan, manusia yang bisa menggunakan kehendak dan kuasanya untuk mengatasi rasa lemahnya. Nietzsche adalah filsuf yang begitu yakin bahwa manusia harus berdiri di atas sifat-sifat konkretnya.
Manusia bukanlah suatu konsep abstrak sebagaimana dipahami oleh kaum idealis atau juga kaum materialis. Keduanya sering melahirkan pandangan-pandangan dunia yang bersifat statis. Padahal, hidup dan kehidupan itu sendiri merupakan sesuatu yang dinamis dan bergerak terus-menerus. Bukankah Nietzsche sendiri menyatakan, man is something that is to be surpassed (Manusia adalah sesuatu yang harus dilampaui). Atau dengan yakin ia menyatakan, what is great in man is that he is a bridge and not a goal; what is lovable in man is that he is an over- going and down-going ( Apa yang agung dalam diri manusia adalah bahwa dia adalah jembatan dan bukan tujuan; apa yang patut dicinta dalam diri manusia adalah bahwa dia adalah perjalanan naik dan turun ).
Melahirkan manusia unggul jangan disalahpahami hanya dengan pengertian meloloskan siswa-siswa berprestasi yang mampu merengkuh juara olimpiade fisika, matematika, atau kimia. Menjadi manusia unggul biasa dialami oleh siapa saja yang mampu mengatasi kediriannya menuju kedirian yang lebih. Sifat serakah dan senang korupsi adalah manusiawi dan bahkan menjadi bagian tak terpisah dari manusia. Untuk lahir menjadi manusia unggul, seseorang harus bergerak untuk memperbarui kemanusiawiannya menjadi lebih manusiawi dengan menjelma menjadi manusia yang tidak serakah dan senang korupsi.
Seorang pejabat akan bernilai lebih jika setiap saat dia berhasil mengawasi dan menekan nafsu korupsinya. Dalam mengarungi bahtera kehidupan yang nyata itulah manusia diberi kuasa untuk memikul tanggung jawab atas dirinya sendiri. Dia harus menciptakan nilai-nilai untuk dirinya sendiri pada saat perjalanan kehidupan tersebut.
Di sini dapat dipahami mengapa Nietzsche amat membenci pada mereka yang mudah menyerahkan diri pada skema nilai-nilai yang diciptakan di luar dirinya sendiri. Nietzsche menyebut mereka sebagai “manusia bermoral gerombolan” atau “bermoral budak”. Mereka adalah para pengecut yang hanya bisa berlindung di balik nilai-nilai yang menjerat kedigdayaannya.
“The ignorant, to be sure, the people-they are like a river on which a boat floateth along; and in the boat sit the estimates of value, solemn and disguised”. Mereka seperti sebuah sungai yang di atasnya mengambang sebuah perahu; dan di dalam perahu itu duduk nilai yang dihargai, penuh kemeriahan dan samaran.
Manusia unggul, jika mau merujuk pada Nietzsche, bisa lahir dan dilahirkan dari manusia yang tak lagi menggantungkan diri segala tekanan dari luar. Dengan tidak memperpanjang segala kontroversi pendapat Nietzsche, budaya unggul dalam perspektif ini bisa dijadikan rujukan untuk mengembalikan jati diri dan martabat kebangsaan yang hancur di tengah keserakahan modal, penguasa, utang luar negeri, bahkan terorisme.
Komodifikasi kebudayaan
Ada kesan bahwa kebudayaan semakin mejadi komoditas. Kebudayaan seakan-akan diapropriasi oleh elite politik, elite intelektual, elite birokrat, elite system pendidikan atau elite budaya sendiri. Apropriasi itu berlangsung atas dua jalur. Pertama, terungkap dalam pembicaraan tentang kebudayaan masyarakat yang dikatakan tidak cocok untuk pembangunan. Menurut jalur ini budaya masyarakat perlu direkayasa supaya sesuai dengan pembangunan. Yang merekayasa adalah elite yang berbeda dari masyarakat yang menganggap dirinya sudah mempunyai budaya yang sesuai dengan pembangunan. Jalur itu juga melegitimasi penundaan proses demokratisasi : selama masyarakat masih memiliki mentalitas yang tidak cocok dengan pembangunan, ia belum dapat ikut dalam proses penentuan arah perjalanan bangsa Indonesia.
Kedua, berkebalikan dengan yang pertama, yaitu jalur keprihatinan terhadap budaya bangsa. Dia mendapat ekspresi dalam dua sub lagu yang bersama menghasilkan paduan suara atau duet harmoniselite yang prihatin. Sub lagu yang pertama disebut lagu museum ; unsure-unsur positif warisan budaya bangsa perlu dilestarikan. Disini termasuk pakaian nasional, tari-tarian, sopan santun ketimuran, kekeluargaan, gotong royong dan lain-lain. Dengan menetapkan apa yang termasuk budaya bangsa, elite menetapkan kelakuan masyarakat yang mana sesuai dan yang mana tidak sesuai.
Sub-lagu yang kedua mau melindungi budaya nasional terhadap pengeruh buruk dari luar. Elite yang menganggap diri berwenang untuk menetapkan sikap-sikap mana yang tidak sesuai dengan budaya bangsa. Disini kita mendengarkan bahwa bangsa Indonesia tidak mengenal oposisi, bahwa masyarakat kita bermusyawarah daripada memperjuangkan hak-haknya, tidak bersikap konfrontatif, bahwa bertindak berdasarkan keyakinan sendiri adalah individualisme, dan oleh karena itu asing.
Hal-hal diatas secara tegas menyatakan bahwa demi budaya bangsa elitelah yang sebaiknya menentukan arah pembangunan.
Masyarakat kita yang berbudaya akan beruntung apabila mengenal dan akrab dengan beberapa kebudayaan barat. Sama dengan orang barat yang mengenal dan mencintai kebudayaan-kebudayaan Timur. Pertemuan dengan kebudayaan lain selalu memperkaya kita sendiri. Mengagumi karya karya seni Italia, atau menelusuri filsafat Perancis bagi orang timur pasti sangat rewarding. Yang pasti menarik, pelancongan ke dalam kebudayaan lain tidak cenderung memiskinkan persepsi tentang kebudayaan sendiri, melainkan memperkaya.
Kebudayaan yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah kebudayaan modern tiruan. Dia mengancam karena tidak sejati, tidak substansial, semu, dan ersatz. Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia plastic, manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia kosong, manusia latah.
Kebudayaan tiruan itu mempunyai daya tarik luarbiasa sehingga mampu menyedot pandangan kita tentang nilai, dasar harga diri, dan status. Ia menawarkan kemewahan, kepenuhan hidup, kemantapan diri, asal kita mau berpikir sendiri, dan berhenti membuat penilaian sendiri. Kebudayaan yang dikatakan modern itu membuat kita lepas dari kebudayaan tradisional kita sendiri, dan sekaligus tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern yang sesungguhnya. Akhirnya kita hanya seolah-olah menjadi manusia modern.




BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang telah dibuat, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa banyak terdapat mitos-mitos yang berkembang di masyarakat dulu dan itu berlangsung sampai sekarang, bisa di bilang mitos-mitos tersebut adalah budaya dari suatu masyrakat. Sebagai warga Indonesia yang berbudaya kita harus menghormati budaya tersebut.
3.1. Saran
Bagi setiap masyarakat, mitos-mitos tersebut bisa diambil sisi positif serta pesan/nilai-nilai kehidupan yang positif bagi kehidupan kita sehari-hari, buang sisi negatif dari budaya tersebut. 



Daftar Pustaka